Kisah KamiDi

Kisah KamiDi

Sore itu disebuah lorong jalan pinggiran Jakarta, Kamidi berjalan pelan enggan melangkah pulang. Sepatunya yang penuh lumpur seakan riang bergayut membebani langkahnya. Terbayang wajah sedih istri dan anak-anaknya ketika mereka tahu Kamidi pulang tidak membawa uang gajian. Mandornya tiba-tiba menghilang lagi ketika saatnya gajian. Sudah  tiga minggu kamidi dan teman-temannya tertunggak menerima gaji mingguan mereka. Mandor beralasan uang dari pusat belum turun tuk menggaji mereka.

Rasa kesal Kamidi mulai mengembara, mulai dari kehidupan miskin orang tuanya yang tak mampu menyekolahkan Kamidi ketika lulus sekolah dasar, sampai pemberian nama dari orang tuanya yang dianggap terlalu suram untuknya. "Andai saja namaku Hendrik atau Robert pasti keren" pikir Kamidi. Tapi kalau nama Robert mempunyai profesi kuli galian tidak pantas juga, Kamidi pun membantah pemikirannya sendiri. Ya minimal diberi nama yang tidak terlalu ndeso pikir Kamidi lagi menyalahkan orang tuanya.

Tiba-tiba ada sebuah mobil melintas dan berhenti di pinggir jalan. Kamidi tetap berjalan tak menghiraukan sekitarnya. Pikirannya masih terbayang kebutuhan istri dan anak-anaknya yang membutuhkan uang untuk makan, bayar uang kontrakan dan biaya sekolah ketiga anak Kamidi. Rasa pusing, kalut, bingung terus menari indah mengiringi setiap langkahnya.
 "Kamidi..!!!" terdengar orang memanggil namanya dengan nada yang medok. Kamidi pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah orang yang memanggillnya. Dilihatnya orang yang di dalam mobil dengan jendela terbuka itu yang memanggilnya. Dengan mengerutkan kening Kamidi menghampiri orang tersebut.

"Siapa ya ?" tanya Kamidi terheran-heran.
"Lah Kamidi toh, pangling sama aku ?" seru orang yang ada di mobil. Orang itu membuka pintu mobilnya dan keluar, terlihat orang itu seperti boss besar dimata kamidi. Jas hitam berdasi, celana hitam dan sepatu mengkilap menambah mentereng sosok orang tersebut. Kamidi berpikir keras mencoba mengingat-ingat sosok yang sekarang berada tepat di hadapannya.
"Aku Mugirin Di !"  ucap orang tersebut.
"Mugirin ?" ujar Kamidi tidak percaya
Seingat Kamidi, Mugirin ini adalah teman kecilnya dan juga satu meja waktu sekolah dasar. orangnya bandel, sering ajak Kamidi mencuri mangga milik pakdenya maupun bolos sekolah. Karena sering mendapat hukuman dari sekolah dan keluarganya, teman-teman yang lain jarang yang mau akrab dengannya. Hanya dengan Kamidi, Mugirin berkawan akrab. Sayang setelah lulus sekolah dasar Mugirin pindah mengikuti orang tuanya ke kota. Sejak itu Mugirin tidak pernah bertemu lagi dengannya.

"Lah malah bengong, ini aku di, Mugirin. Konco mu yang paling tersohor" ucap Mugirin sambil tertawa.
"Mugirin tah, pangling aku. Gaya mu sekarang seperti boss." ujar Kamidi memuji dengan tulus.
"Ayo masuk ke mobil, kurang enak kalau kita bicara di pinggir jalan seperti ini" ajak Mugirin sambil membuka pintu belakang mobilnya
"Tidak usah Rin, pakaian aku kotor pulang nguli, nanti bisa lecet mobil kamu" ucap Kamidi menolak
"Gapapa Di, mobil lecet bisa diperbaiki, tapi konco seperti kamu itu tak terganti !"
Sambil memaksa Mugirin akhirnya membawa Kamidi masuk ke dalam mobilnya, dan meminta sopir menjalankan mobilnya menuju rumah Kamidi. Di dalam mobil sepanjang perjalanan Kamidi mendengarkan cerita Mugirin dari A sampai Z tentang masa lalu mereka. Rasa malu dan rendah diri menyelimuti Kamidi, sesekali menjawab pertanyaan yang Mugirin berikan.

Mobil terhenti di depan sebuah gang kecil, Mugirin dan Kamidi keluar dari mobil dan melangkah memasuki jalan kecil tersebut. Kontrakan Kamidi agak jauh dari jalan utama, hanya motor yang bisa melewati jalan kecil tersebut. Sekitar 200 meter mereka pun berhenti di depan sebuah rumah petakan. Suasana yang ramai mulai dari celoteh anak-anak bermain maupun musik dangdut yang di putar tetangga terdengar memeriahkan sore menjelang maghrib ditempat itu.

"Pak Kamidi, tadi istrinya titip pesan memberitahu kalau istri dan anak-anak bapak sekarang sedang menginap di rumah mbahnya. Ini kunci rumahnya pak." ucap seorang ibu sambil menyerahkan kunci rumah
"Terima kasih bu Erna." ujar Kamidi sambil menerima kunci tersebut.
 Ketika masuk, Kamidi mempersilahkan Mugirin duduk diatas karpet plastik yang membungkus lantai ruang depan kontrakan tersebut. Tak ada perabot yang tampak di ruang depan rumah tersebut, hanya sebuah photo ukuran 4R yang berisi Kamidi dan keluarganya terbingkai menghiasi dinding di ruang depan.
"Mau kopi atau teh Rin ?" tanya Kamidi
"Teh saja Di, aku sudah dipantang ngopi sama dokter." ucap Mugirin sambil memandangi seisi rumah Kamidi.
"Orang sukses banyak juga pantangannya Rin."
"Orang sukses juga banyak susahnya Di" Sambil senyum kecut Mugirin menjawab perkataan sahabatnya itu.
"Yo wis aku bersih-bersih sambil masak air, tinggal sebentar ya Rin."
"Siap Di." Ucap Mugirin sambil mengacungkan jempolnya.
 Kamidi pun meninggalkan sahabat kecilnya yang kini asik mengutak atik iphone ditangan kanannya, bergegas memasak air dan membersihkan badannya. Sambil mengguyur tubuhnya dengan air Kamidi memikirkan maksud dan tujuan sahabatnya itu menemuinya. "Apa mungkin Mugirin menemuinya tuk meminjam uang?" Guman Kamidi memikirkan hal terburuk. "Ahh mana mungkin.." Gumannya lagi mematahkan logika berpikirnya.

"Silahkan diminum Rin, maaf cemilannya tidak ada."  Ucap Kamidi sambil memberikan gelas berisi teh.
"Langsung saja ya DI, aku justru kesini ada sesuatu yang harus dibicarakan, aku kesini bukan untuk menikmati cemilan." ucap Mugirin serius.
"Urusan opo toh Rin, kalau bisa aku bantu ya sebisanya aku bantu." ucap Kamidi sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok.
"Aku mencarimu untuk 3 hal penting Di, minggu kemarin aku sempat pulang kampung dan mencari kamu, tetapi rumah di kampung telah ditempati mbakyu mu. Dari sana aku tahu alamat kamu di Jakarta. Susahnya itu kamu dan keluarga kamu tidak punya HP. Jadi tadi sore aku berusaha mencari alamat kamu, kebetulan Allah mempertemukan kita dijalan."
"Terus 3 hal penting ini apa Rin ?" tanya Kamidi ingin tahu.

"Pertama aku ingin mengajak kamu kerja di tempat ku Di, aku punya perusahaan advertising, mulai billboard, videotron, media luar ruang dll, aku ingin kamu menjadi kepala gudang. Aku perlu orang yang jujur yang bisa aku percaya tuk mengawasi barang keluar masuk. Masalah gaji tak perlu khawatir, rumah juga sudah dipersiapkan untuk kamu dan keluarga tempati disana."
"Yang kedua, untuk biaya anak-anak kamu sekolah biar aku yang mengurusnya. Aku dan istriku sudah membicarakan hal ini. Jadi untuk sekolah anak-anakmu tidak perlu kuatir lagi."
 Kamidi terdiam tidak percaya apa yang dikatakan sahabat kecilnya yang baru dijumpainya satu jam yang lalu. Bagaimana mungkin ditengah situasi sulit bisa terjadi hal yang tak terduga seperti ini.
"Dan yang terakhir aku ingin memberikan ini ke kamu." Seraya menyerahkan amplop kehadapan Kamidi.
"Itu uang yang memang sudah aku dan istriku siapkan, infaq dan zakat yang tiap tahun aku keluarkan. Tahun ini aku serahkan ke kamu Di. Kamu pernah menyelamatkan aku waktu tenggelam di sungai. Kamu orang yang telah menyelamatkan hidupku, kamu satu-satunya orang yang menemani masa kecilku. Dan aku rasa kamu berhak menerimanya Di."
 Kamidi pun makin membisu, matanya berkaca-kaca. perlahan namun pasti air matanya mulai mengalir.

"Kamu tahu Di, selama beberapa tahun ini aku selalu gelisah, seperti ada yang mengganjal dalam hidupku, seperti ada pertanyaan yang tidak mampu aku temukan jawabannya. sampai 3 minggu yang lalu ketika aku mengunjungi billboard yang baru selesai aku pasang dengan istriku."
"Pak tahu tidak, semua billboard yang kamu pasang itu punya Kamidi."
"Maksudnya bagaimana bu ? bapak tidak mengerti."
"Coba itu lihat pak tulisan paling bawah setelah iklan, Hubungi Kami di :..... ". ucap istriku sambil tertawa.
"Kalau dibaca terus ya jadi Kamidi pak." seloroh istriku.
"Mendengar perkataan istriku langsung membuat aku tersadar Di, aku teringat kamu, teringat nama mu, orang yang pernah berjasa besar dimasa laluku, kalau tak ada kamu mungkin aku sudah mati tenggelam disungai. Jadi sekarang aku mohon, maukah kamu menerima semua tawaranku ini."

Mendengar cerita Mugirin, air mataku tak terbendung lagi. Aku menangis tertunduk malu. Satu jam yang lalu aku mengeluh, satu jam yang lalu aku tidak terima. Dengan nama pemberian dari orang tuaku, dengan keadaan yang aku jalani, dengan semua yang terjadi dalam hidupku. Hanya dalam satu jam Allah menjawab semua protes yang aku pikirkan, semua keluh kesah yang aku simpan. Saat ini aku merasa tak berdaya. Sungguh aku tak berdaya.
Adzan Maghrib menyadarkan kembali diriku, aku melihat Mugirin mengelus bahuku sambil memberikan amplop dalam genggamanku. 


*"Fabiayyi alaa’i rabbi-kumaa tukadzdzibaan"*
"Maka Nikmat Tuhan-mu yang manakah yang _'Kamu Dustakan'_ ?”